Hari pertama: 22 juli, jam 20.00 WE.
Saat itu aku masih murid kelas 4 SD, 15 tahun lalu, setiap malam aku selalu menemani ayahku nonton “Dunia Dalam Berita”, setiap kali ada “Prakiraan Cuaca” dan kota Cairo disebut, ayahku selalu bilang, “Kamu nanti harus belajar di sana”. Padahal cita-citaku sejak itu sampai aku terdaftar sebagai santri kelas 5 di Gontor adalah meneruskan tradisi keluargaku, menjadi ABRI, seperti kakekku, kakak-kakakku, paman-pamanku, dan sepupu-sepupuku. Tapi entahlah kenapa Cairo itu selalu ada di kepala ayahku.
Karena sebuah kecelakaan, cita-citaku menjadi ABRI pupus sudah, akhirnya cita-cita alternatif yang pernah hadir dalam benakku untuk menjadi seorang pakar Hukum kembali lagi. Tapi itu juga “seems to be no hope” ketika orangtuaku ingin aku belajar ke Timur-Tengah, lagi-lagi Cairo pilihannya. Aku tidak pernah tahu Cairo itu seperti apa, yang aku tahu di sana orang-orang berbicara bahasa Arab dan menghafal Quran. Aku juga nggak paham besok aku mau jadi apa kalau aku belajar di sana. Jadi ustad? Penceramah? Jadi Tengku yang punya Dayah? Owh…tidak, sama sekali hal itu tidak terbesit dalam benakku, itu yang terbayang di benakku tentang cita-cita orang tuaku untuk menyekolahkanku ke Cairo. Tapi, hari ini aku “terdampar” di kota cinta, Damascus.
Saat itu aku masih murid kelas 4 SD, 15 tahun lalu, setiap malam aku selalu menemani ayahku nonton “Dunia Dalam Berita”, setiap kali ada “Prakiraan Cuaca” dan kota Cairo disebut, ayahku selalu bilang, “Kamu nanti harus belajar di sana”. Padahal cita-citaku sejak itu sampai aku terdaftar sebagai santri kelas 5 di Gontor adalah meneruskan tradisi keluargaku, menjadi ABRI, seperti kakekku, kakak-kakakku, paman-pamanku, dan sepupu-sepupuku. Tapi entahlah kenapa Cairo itu selalu ada di kepala ayahku.
Karena sebuah kecelakaan, cita-citaku menjadi ABRI pupus sudah, akhirnya cita-cita alternatif yang pernah hadir dalam benakku untuk menjadi seorang pakar Hukum kembali lagi. Tapi itu juga “seems to be no hope” ketika orangtuaku ingin aku belajar ke Timur-Tengah, lagi-lagi Cairo pilihannya. Aku tidak pernah tahu Cairo itu seperti apa, yang aku tahu di sana orang-orang berbicara bahasa Arab dan menghafal Quran. Aku juga nggak paham besok aku mau jadi apa kalau aku belajar di sana. Jadi ustad? Penceramah? Jadi Tengku yang punya Dayah? Owh…tidak, sama sekali hal itu tidak terbesit dalam benakku, itu yang terbayang di benakku tentang cita-cita orang tuaku untuk menyekolahkanku ke Cairo. Tapi, hari ini aku “terdampar” di kota cinta, Damascus.