Minggu, 03 Juli 2011

Cerbung Part I


“Kemana kita sekarang?” tanyaku heran. Saat aku tak tau kemana kendaraan ini menuju, aku hanya bisa duduk dibelakangnya. Dan melihat jalan yang kita lewati.
“Blessing…” jawabnya singkat, tapi aku tak begitu mendengar suaranya yang terbawa angin.
“Tempat apa?” tanyaku masih penasaran.
“Nanti juga tau…” Agaknya membuatku penasaran.

Sudah banyak tikungan yang kita lewati, dan setiap tikungan aku harap perjalanan selesai dan segera berhenti ditempat yang dia maksud. Tapi harapanku sirna. Malam semakin larut, udarapun membawa hawa dingin. Aku hanya bisa melihat setiap toko yang kita lewati. Dari berbagai macam aksesoris, toko baju, sepatu dan makanan. Aku semakin penasaran mau dibawa kemana aku?


Kendaraan pun berhenti. Tepat didepan café bertuliskan BLESSING, terukir diatas papan besi, berlampu hias, dan berwarna pink keunguan. Dengan pintu kaca yang tebal dan bening, dari luarpun aku bisa tau apa yang dilakukan orang-orang yang mendatangi tempat ini juga. Mereka berpasangan. Tapi aku belum paham betul apa yang ada didalamnya. Aku menuruni kendaraan dan mulai melepas helm yang aku pakai dan menaruhnya diatas spion motor. Tapi dia tidak.

“eh, tunggin donk!”
“ayo masuk…!” ajaknya pelan. Segera memasuki café dan meninggalkanku.
Hanya ada empat pasang kursi sofa, dan 3 pasang kursi lipat. Dua orang sejoli duduk dipojok depan, lama sebelum kami datang. Aku dan dia duduk dipojok lain. Memilih kursi sofa yang masih kosong. Seorang waiter menghampiri kami, memberikan daftar menu, selembar kertas pesanan dan sebuah pen. Astaga… ice cream? Menunya ice cream? Aku tak percaya, setahun kita pacaran baru kali ini dia mengajak aku ketempat yang romantis dengan menu yang pas untuk pasangan yang dilanda panah asmara.

“Aku pilih Bread day. Kamu?” memilih dan menulis dilembar pesanan dengan cepat.
“Yang coklat fanila mana ya?” dengan gugup aku mencari taste yang aku suka didaftar menu. Sesekali aku memandang dia. Dia adalah Akmal, Akmal Ardiansyah. Bintangku dan pujaan hatiku yang aku cintai.
“disini semuanya enak…” jelasnya padaku.
“Chocolate Dreamer, itu aja.”
“makannya? Dulu aku pernah coba spageti, tapi kali ini mau yang lain. Enak nya apa?” tanyanya meminta pendapat padaku.
“Sandwich…” semoga pilihanku tepat.
Pesanan kami pun dalam proses penyajian, menunggu itu aku masih heran dan tidak percaya dia bisa seromantis ini. Hatiku sangat berbunga-bunga. Ini jelas bukan mimpi. Sebuah kenyataan seperti film barat yang tak pernah aku duga sebelumnya. Tapi ada sedikit keganjalan antara kami. Hanya sekedar feeling, atau kenyataan. Aku menunggunya mengawali pembicaraan. Tapi ternyata dia sibuk dengan pesan singkat yang tak ada habisnya mendatangi Hp munyilnya itu. Sedikit kecurigaanku mendatangkan rasa jealous. Karna tadi aku sempat meminjam Hpnya dan membaca beberapa pesan inbox. Dugaanku benar. Ada nama sella disana. Pesannya pun sangat jelas, menceritakan bahwa dia sangat menyukai Akmal, bintangku. Pesan berikutnya kudapat sella sangat memperhatikan Akmal, dari mengingatkan makan sampai menasehatinya. Terakhir kudapati sella mengajak Akmal makan berdua ditempat yang tidak aku ketahui. Aku hanya bisa berpura-pura tidak tahu tentang pesan singkat itu. Tapi hatiku semakin panas, ditempat seromantis ini dia belum mengawali pembicaraan denganku.
“Tempatnya bagus ya? Cocok banget buat sharing.” Aku mencoba mengawali pembicaraan.
“iya, untuk itu aku mengajak kamu kesini,” jawabnya tenang, tapi masih tetap memandangi Hp. Aku harus bisa membuatnya hanya berbicara denganku, dan menghiraukan pesan inboxnya.
“Sayang, kita tau setiap hubungan itu pasti ada kata putus nantinya.”
Dia terkejut aku mengatakan itu, dan dia langsung memasukan handphonenya kedalam saku. Dia menatapku, berusaha mendengarkan dan memahami maksud perkataanku. Aku pun tenang, dan melanjutkan pembicaraanku.
“kamu masuk diUNAIR, universitas ternama seIndonesia. Jurusan bahasa inggris yang sangat kau gemari. Aku memang masih duduk dibangku kelas tiga paspal diMalang. Tapi aku tahu, jam kuliyah serta kesibukan didalamnya sangat padat. Aku yakin kau pun akan fokus pada itu, dan perhatianmu kepadaku pun akan berkurang.”
Aku berhenti sejenak, menatapnya yang hanya terdiam seperti tak tahu apa lagi yang harus dia katakan padaku. Aku menarik nafas dan memulainya lagi.
“Jangan takut, aku pun pasti lebih konsen pada belajarku. Tahun ini aku UAN. Tapi bukankah kau tahu bahwa tak ada yang menginginkan perpisahan? Meskipun demikian, aku harus siap kalau pun suatu saat kita harus putus. tapi…”
“Tapi apa…??” tanyanya penasaran.
“Tapi aku tak tahu, bagaimana dan pada siapa aku mematokan kelemahanku menjadi semangatku jika itu tanpa kamu, bukan kamu dan…” aku menundukan kepala, tak bisa aku menatap sepasang mata telaga yang tenang dan binar.
“ini pesananya, selamat menikmati.” Waiter itu menaruh menu yang kita pesan tepat dihadapan kita masing-masing. Dan memotong pembicaraaanku
“Nih, mau nggak?” dia berusaha mengiburku dengan mencoba menyuapkan sesendok ice cream fanila dengan sedikit roti dibawahnya yang disodorkan tepat didepanku. Kelima waiters yang selesai membuat menu pun sampai melihat kami. Aku sangat malu.
“Ayo, ini enak lho…” lagaknya memaksa, dan masih memegangi sendoknya dihadapanku.
                                                                                                            -To be continue-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar